Mentari tak malu-malu menampakan sinarnya
semburat warna jingga mulai mewarnai canvas biru muda . Embun masih
berselimut tebal di dedaunan hijau bersama angin sejuk menyapa kota Bandung pagi
itu. Jalanan mulai ramai, orang-orang berlalu lalang menjalankan aktivitasnya. Begitu
pun dengan Fahri yang telah menyelesaikan rutinitas paginya yaitu murajaah
kemudian bersiap-siap menuju sekolah. Muhammad Fahri nama lengkapnya saat ini
sedang menempuh pendidikan di salah satu Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu
(SMAIT) di daerah Bandung Barat. Fahri adalah anak kedua dari 3 bersaudara.
Kakak pertamanya perempuan kemudian adiknya laki-laki.
Buku- buku pelajaran dan buku tugas dimasukan
kedalam tas tak lupa buku kecil yang selalu ia bawa kemanapun perginya. Didalam
buku kecilnya Ia menuliskan 100 impian yang akan diwujudkannya dan salah satu
cita-cita yang paling membara adalah menuju negeri Palestina memperjuangkan
tanah Al-Aqsa yang menjadi tempat paling bersejarah saat peristiwa isra’ mi'raj Rasulullah. Fahri tergolong siswa yang aktif di sekolahnya dan di tahun ini
pula dia diamanahkan sebagai Wakil Ketua OSIS. Meskipun Ayahnya merupakan salah satu
pimpinan di sekolahnya hal itu sama sekali tidak membuat Fahri merasa tinggi
hati. Selain aktif disekolah Fahri juga aktif di beberapa komunitas di lingkungan
sekitarnya.
“Fahri,
Senin besok kamu jadi petugas pengibar
bendera ya. Nanti sore kita latihan di lapangan Enggal oke” Ucap Rama (salah
satu temannya di ekstra paskibra)
“Oke siap”
Sore itu tanah lapang nan hijau menjadi saksi
semangat para petugas upacara. Angin sepoi-sepoi mengiringi suara derap langkah pasukan
pengibar bendera. Lembayung senja mulai terlihat di ufuk barat menandakan waktu magrib akan segera tiba. Sampai saat itu pula Fahri belum juga datang. Hingga
akhirnya Fahri mengirimkan sebuah pesan yang berisikan bahwa tidak dapat
mengikuti latihan. Betapa kesalnya Rama kali itu tidak pernah-pernah nya Fahri melupakan sebuah janji apalagi tanpa konfirmasi dan ini sudah terlalu sore
untuk memberi kabar kalau ia tidak bisa hadir.
“Temen-temen
Fahri hari ini tidak bisa ikut latihan ada urusan urgent tadi katanya. Yaudah
ya latihannya, udah sore juga. Semoga besok lancar perlengkapan jangan sampai
ada yang tertinggal” Ucap Rama kepada teman-teman nya sembari mengenakan
sepatunya.
“Kepada bendera merah putih hormat grak..” Suara tegas pemimpin upacara
Bendera dinaikan perlahan diiringi dengan lagu
kebangsaan Indonesia Raya. Seluruh peserta upacara dengan antusias
memperhatikan moment paling ceremonial saat detik-detik pengibaran bendera.
“Fahri, tarik lagi benderanya” ucap Rama lirih sembari
melirik keatas yang saat itu bendera baru naik setengah tiang
“Gak bisa..udah gua tarik ini udah mentok” balas Fahri sembari menarik
tali bendera
Lagu Indonesia Raya telah selesai dinyanyikan
sementara posisi bendera masih naik setengah tiang. Guru-guru dan peserta
upacara seikit heran dan bingung kenapa para petugas bisa melakukan kesalahan yang
cukup fatal.
“Gara-gara lu sih kemarin gak latihan” ucap
Rama melirik sinis kearah Fahri
Fahri merasa sangat bersalah. Mereka bertiga
pun dengan sigap kembali ke barisan pasukan pengibar seperti tidak terjadi apa-apa.
Bendera itu berkibar namun hanya setengah tiang. Sampai tibalah saatnya Bapak
Kepala sekolah selaku pembina upacara menyampaikan amanat.
“Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh, innalillahi wa innailaihi raji’un”
“Walaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh”
balas seluruh peserta upacara
Peserta upacara pun kaget dengan mukadimah
pertama yang diucapkan bapak kepala sekolah
“Barusan saya mendapat kabar bahwa Ayahanda
dari Muhammad Fahri meninggal dunia dan saat ini sedang perjalanan pulang dari
rumah sakit dan kita doakan semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT”
Sontak bak petir menyambar seluruh persendian
Fahri. Hatinya seperti melebur berkeping-keping. Fikirannya kembali mengelak
ini tidak mungkin terjadi. Fahri lari meninggalkan barisan disusul Rama
mencoba menemani sahabat terdekatnya itu. Ponsel Fahri kembali berdering
panggilan masuk dari Umi. Rasa sesak menyelimuti hatinya duka mendalam
dirasakan hari ini. Abi yang menjadi super heronya kini telah pergi.
“Fahri yang sabar ya, maaf kalau tadi gua
sempet marah soal kemarin lo yang gak ikut latihan” Ucap Rama sembari merangkul
Fahri
“Iya gak papa ma, maaf juga hari sebelumnya tidak bisa latihan karena mengantar Abi kerumah sakit. Mungkin juga ini sudah rencana Allah pertanda Abi akan pergi” Balas Fahri sembari menyeka air matanya
Sekitar 2 bulan berlalu setelah kepergian Abi,
Fahri sempat membuka kembali buku-buku bacaan Abi dan Fahri menemukan secarik
kertas yang bertuliskan mimpi-mimpi yang ingin diwujudkan Abi nya. “menjadikan
keluarga yang mencintai Al-Quran, senantiasa dekat dengan Al-Qran dan generasi
penghafal Al-Quran. Mengibarkan panji
Islam ditanah Al-Aqsa bersama para mujahid yang berjuang”. Sontak tulisan
itu seperti membius Fahri. Raga dan jiwa nya kembali terisi semangat menerima
aliran energi untuk mewujudkannya.
“Percayalah Abi aku pasti bisa mewujudkan nya
mimpi-mimpi Abi itu”
Fahri menceritakan ke Umi, kakak serta
adik-adiknya tentang tulisan Abi. Tenyata Umi sudah mengetahui misi yang dibuat
Abi sejak awal bertemu Abi dulu dan visi yang dibuat adalah lurus mencari
keridhaan Allah. Supaya kelak bisa bertemu kembali di Surga-Nya. Suasana
haru menghiasi ruangan berdinding putih. Hati mereka terikat kuat atas
kecintaan pada Rabb-Nya.
“Mi,
sebentar lagi kan aku lulus SMA. Aku gak langsung kuliah lah mau ngewujudin
cita-cita Abi. Aku mau berangkat ke
pondok tahfidz aja ya mi” Ucap Fahri sembari mengerutkan sebelah alisnya.
“Terus kalau kamu udah jadi penghafal Al-Quran,
udah cukup?” balas Umi
“Enggak lah mi, inget pesen Abi bukan hanya
sekedar menghafal tapi bagaimana caranya agar senantiasa dekat dengan Al-Quran
setelah selesai hafalanya maka sepanjang hidup murajaah nya”
Setelah lulus dari SMA IT ternama di Bandung.
Fahri membulatkan tekadnya sengaja menunda setahun tidak melanjutkan ke dunia
perkuliahan melainkan ke salah satu pondok tahfidz di daerah Bekasi.
Disana Fahri merasa sangat beruntung sekali karena bertemu dengan teman- teman yang sangat
mencintai Al-Quran. Di Pondok Fahri juga menyukai olahaga memanah. Seperti
yang dikatakan Abi sewaktu Fahri masih kecil supaya bisa seperti sa’ad bin Abi
Waqqash pemanah hebat zaman Rasulullah.
“Minggu depan ada pembukaan pendaftaran
relawan di Palestina. Yang ingin mendaftar formulirnya bisa diambil di kantor ya” Ucap salah satu
pengurus pondok
Pengumuman itu sontak menggetarkan hati Fahri.
Bukan sekedar pendaftaran biasa tapi pendaftaran relawan palestina yang sangat
ingin diwujudkannya serta mimpi-mimpi Abinya. Segera Fahri menuju kantor dan
menanyakan ke pengurus pondok terkait pendaftran relawan tersebut. Dibacanya
satu persatu persyaratan poin demi point berhasil ia ceklist menandakan
memenuhi persyaratan . Namun ia menandai satu nomor yang baginya sangat berat
dan apakah akan berhasil menceklist point nomor pertama tersebut.
“Mi ada
pendaftaran relawan Palestina Fahri boleh daftar gak ya mi?”
Entah bagaimana perasaan Umi Fahri kali itu.
Anak yang paling dikasihinya memiliki tekad luar biasa untuk mewujudkan
mimpi-mimpinya. Sementara, ini bukan sekedar relawan. Ini sebuah keikhlasan menerima anaknya
berjuang jauh disana yang entah nantinya pulang hanya tinggal nama. Umi Fahri mencoba belajar dan meneladani sebuah kisah heroik Nusaibah binti Ka’ab yang
merelakan suaminya dan kedua anaknya nya berjuang dijalan Allah bahkan dirinya
sendiri pun ikut juga dan namanya tak pernah absent dalam beberapa peperangan.
“Bismillahirrahmanirrahiim.. inshallah Umi
Ridho kamu berangkat kesana”
“Terimakasih Umi” Balas Fahri dengan
senangnya
Setelah beberapa persiapan dan persyaratan
dipenuhi Fahri terpilih menjadi salah satu relawan Indonesia yang akan
diberangkatkan ke Palestina. Tak lupa ia membawa catatan kecil yang di tulisnya
dulu. Ia tak pernah menyangka bahwa takdir Allah mewujudkan mimpi-mimpi nya
tersebut. Sesampainya di negeri yang Allah cintai itu hatinya kembali bergetar
menginjak kan kaki di tanah palestina. Fahri segera diarahkan menuju tempat
berkumpulnya relawan Indonesia. Ia melewati beberapa tembok tembok yang sedikit
rapuh beberapa bagiannya dan bertemu dengan seorang anak laki-laki yang
berjalan dengan satu kaki. Fahri memberikan sedikit senyum kepada anak laki-laki itu. Kemudian setelah
melewatinya tak jauh dari situ ia bertemu lagi dengan gadis cilik yang juga
sama berjalan hanya dengan satu kaki. Dan setelah itu ia menemukan lebih banyak
lagi orang-orang yang berjalan hanya menggunakan satu kaki. Fahri bertanya
pelan kapada koordinator relawan.
“Mengapa banyak sekali kutemui mereka dengan
satu kaki”
“Begitulah keganasan zionis Israel yang menggunakan
peluru kupu-kupu untuk menyerang umat muslim disini. Peluru kupu-kupu adalah peluru
yang dibagian kepalanya terbelah, sehingga jika melesat kencang dan menumbuk
sasaran maka kepalanya akan terbelah dan akan pecah berkeping-keping menjadi
serpihan sehingga dipastikan sasaran target akan rusak alias cacat permanen”
Ternyata apa yang dilihatnya ketika di
Indonesia atas kekejaman zioni israel kepada umat muslim sangatlah belum
seberapa. Disini Fahri melihat langsung bagaimana kejamnya para zionis Israel.
Darah disini sudah menjadi hal biasa
ketika berceceran di jalan-jalan. Suara isak tangis anak-anak yang melihat
langsung Ayah atau Ibunya dibunuh di depan mata. Yang bisa mereka lakukan saat
ini adalah terus berjuang untuk merebut kembali tanah Palestina.
“Abi semoga kita bisa kembali berjumpa di
surga” ucap anak laki-laki yang baru saja melihat ayahnya menghembuskan nafas
terakhirnya setelah tertembak peluru kupu-kupu dibagian perutnya saat melewati
perbatasan jalur Gaza. Fahri segera menghampiri anak laki-laki itu dan
memeluknya. Kali ini ia kembali teringat akan Abinya dan berkata lirih kepada
anak kecil itu “Semoga kamu bisa dipertemukan kembali ya dengan Abi disurga-Nya
nanti. Sudah sekarang jangan menangis ya” Dipeluknya kembali anak laki-laki itu
.